Senin, 12 April 2010

Kehilangan Indera Penciuman Gejala Awal Alzheimer

Alzheimer atau kepikunan merupakan salah satu fenomena yang membayangi manula. Siapa sangka bahwa menurunnya performa sejumlah indera ternyata salah satu gejala awalnya?
Kehilangan indera penciuman memang telah lama dikenal sebagai salah satu ciri yang ada pada penderita Alzheimer. Namun sebuah riset di New York, yang dimuat dalam Journal of Neuroscience baru-baru ini mengaitkan kehilangan indera sebagai salah sebagai salah satu penyebab awalnya atau gejala Alzheimer.
“Dalam riset terbaru ini ada hubungan langsung antara perkembangan plak amiloid dan memburuknya indera penciuman,” demikian laporan riset Daniel W Wesson dari New York University School of Medicine dan Nathan S Kline dari Institute for Psychiatric Research New York.
Gumpalan sel-sel protein amliloid atau plak amiloid dipercaya menyebabkan perubahan kimia pada otak manusia. Musnahnya sel saraf ini menyebabkan syaraf otak yang berfungsi menyampaikan pesan dari satu neuron ke neuron lain terpengaruh. Meski termasuk penyakit yang ditemukan lama, Alzheimer tidak terlalu dikenal publik.
Dalam riset Wesson dan Kline yang menggunakan tikus, mereka menemukan gumpalan plak amiloid pertama terbentuk di bagian otak yang mengatur indera penciuman. Tikus yang memiliki plak amiloid menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengendus dan mengingatnya. Mereka bahkan kesulitan membedakan bau-bauan tersebut.
“Yang lebih mengejutkan lagi, tikus-tikus itu sudah rentan terhadap perkembangan plak amiloid sejak usia mereka baru tiga bulan,” imbuh mereka. Keduanya merasa temuan ini penting, karena pasien yang diduga mengidap Alzheimer tak perlu lagi merogoh kocek untuk scan otak (MRI). Cukup datang ke laboratorium dan menguji indera penciuman mereka.
Jika ilmuwan Amerika meneliti indera penciuman, lain halnya dengan kalangan sains Inggris. Mereka melakukan uji pada indera penglihatan alias mata. Profesor Francesca Coredeiro dari University College London Institute of Ophthalmology menyatakan, uji penglihatan yang simpel bisa digunakan untuk mendeteksi Alzheimer.
“Tak banyak yang menyadari bahwa retina adalah bagian yang langsung terhubung dengan otak dan bisa digunakan untuk langsung mengetahui kondisi di organ penting itu,” ujarnya. Uji penglihatan itu dilakukan dengan menggunakan penanda fluorescent yang dihubungkan dengan sel sekarat. Hasilnya, akan diperoleh indikasi kematian sel otak lebih awal.
Seperti halnya periset Amerika, tikus lagi-lagi menjadi obyek penelitian mereka. Riset yang dipublikasikan di jurnal Cell Death and Disease ini juga mencoba membuat pasien mengurangi penggunaan scanner yang mahal. Bedanya, kali ini mereka bukan mencari gejala Alzheimer, melainkan mencari tahu apa yang terjadi dengan otak penderitanya.
Teknik ini memungkinkan mereka meneliti perkembangan penyakit otak. Dengan cara memperhatikan sel sekarat yang ada dalam retina. Mereka berbentuk titik-titik kecil berwarna hijau, karena menyerap penanda fluorescent yang glow in the dark. Ilmuwan medis pun mendapatkan cara baru untuk meneliti Alzheimer.
Meski kedua penelitian ini menggunakan tikus, para ahli mengungkapkan hal serupa nantinya akan mereka lakukan terhadap manusia. Mereka tak menyangkal harapan untuk mencari sebuah metode canggih dalam menemukan gejala dan ciri-ciri Alzheimer.
“Mudah-mudahan screening Alzheimer sudah tersedia lima tahun lagi. Kita harus terus mencari teknik baru,” kata Chief Executive Alzheimer's Research Trust, Rebecca Wood.
Wood mengatakan, kesulitan utama untuk mencari perawatan penyakit syaraf adalah kurangnya teknik penyembuhan berdasarkan respon otak.

INILAH.COM, Jakarta – Vina Ramitha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar