Senin, 12 April 2010

Dampak aborsi

Melakukan aborsi apapun alasannya mengandung suatu persoalan yang mengancam kesehatan dan keselamatan seorang ibu. Aborsi dapat menimbulkan risiko terhadap keselamatan secara fisik dan dapat menimbulkan risiko gangguan psikologis.
Menurut Reardon (1990) komplikasi fisik karena aborsi kemungkinan terjadi lebih dari seperlima. Komplikasi yang terjadi dapat berupa komplikasi minor, seperti infeksi ringan, perdarahan, demam, nyeri perut kronis, gangguan saluran pencernaan, perdarahan, muntah dan sensitisasi rhesus (Rh).
Sedangkan komplikasi mayor, dapat berupa infeksi, perdarahan berlebihan, embolisme, perobekan atau perforasi rahim, komplikasi anestesi, kejang, cedera servikal dan syok endotoksik.
Tindakan melegalkan aborsi diyakini bukan merupakan solusi yang baik dalam menanggulangi meningkatnya angka kematian ibu (AKI), sebab akibat dari aborsi itu sendiri amatlah merugikan menurut sudut pandang keamanan dan keselamatan bagi seorang ibu.
Terbukti dari penelitian Reardon terhadap serangkaian 1.182 aborsi yang tercatat di rumah sakit, 27 persen mengalami infeksi bawaan paska aborsi pada hari ketiga atau lebih. Pada wanita paska aborsi yang dilakukan steril akan mengalami kehamilan ektopik (kehamilan di luar kandungan) dua sampai sembilan kali lipat. Dan di AS pada rentang tahun 1970-1983 angka kehamilan ektopik meningkat empat kali lipat dan 12 persen dari kematian ibu disebabkan oleh kehamilan ektopik ini.
Di negara-negara lainnya yang telah melegalisasi praktik aborsi juga menunjukkan adanya peningkatan kehamilan ektopik secara dramatis.
Berdasarkan telaah Reardon terhadap beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa tindakan aborsi juga dapat menyebabkan laserasi dan kerusakan pada serviks (mulut rahim). Kerusakan serviks karena aborsi ini dapat meningkatkan risiko keguguran, kelahiran prematur dan komplikasi persalinan pada kehamilan akhir mencapai 300 – 500 persen.
Risiko reproduksi karena aborsi ini terjadi secara akut khususnya pada wanita yang melakukan aborsi pada trimester pertama.
Morbiditas laten aborsi seperti lahir prematur, komplikasi persalinan dan perkembangan plasenta abnormal dapat mengarahkan kepada terjadinya kecacatan pada bayi baru lahir setiap tahunnya. Lebih berat lagi, menurut Reardon pada wanita yang telah melakukan aborsi 58 persen berisiko meninggal pada kehamilan terakhirnya.
Selain dampak risiko secara fisik, wanita yang melakukan aborsi juga akan mengalami risiko psikologis seperti adanya konflik dalam mengambil keputusan sehingga kesulitan membuat keputusan, bersikap mendua dan ragu-ragu dalam membuat keputusan memilih aborsi, merasa ditekan atau dipaksa, merasa tidak kuasa memutuskan (merasa hanya berhak memilih) dan sebagainya.
Oleh karena itu WHO pada tahun 1970, menyebutkan bahwa wanita yang melakukan aborsi legal cenderung akan mengalami risiko tinggi gangguan kejiwaan paska aborsi (post abortion syndrome). Post abortion syndrome (PAS) merupakan masalah kejiwaan yang terjadi karena adanya sikap mendua dalam melakukan aborsi tetapi terlanjur dilakukan, sehingga akan menggunakan dua mekanisme pertahanan kejiwaan, yaitu represi dan denial (pengingkaran diri).

Sehingga wanita yang mengalami PAS ini akan mengalami perasaan bersalah, merasa harga diri rendah, malu, insomnia dan mimpi-mimpi disertai mimpi buruk, sering melakukan kilas balik, merayakan peristiwa aborsi (anniversary abortions), adanya sikap bermusuhan dan mengarahkan kesalahan pada pria, menjerit, berputusasa dan depresi, dan adanya usaha-usaha bunuh diri. Dilaporkan juga adanya psikosa paska aborsi yang serius, berlangsung lama dan cenderung berulang.


Dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Jawa Tengah, Mahasiswa S2 Asia University Taiwan
http://www.hidayatullah.com/opini/opini/2363-akankah-aborsi-dilegalkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar